Latar Belakang Masalah
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tanggal 10 Nopember 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Perbankan mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, guna mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Memperhatikan peranan lembaga perbankan yang demikian strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, maka terhadap lembaga perbankan perlu senantiasa terdapat pembinaan dan pengawasan yang efektif, dengan didasari oleh landasan gerak yang kokoh agar lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar, dan mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.
Upaya mendukung pelaksanaan kinerja perbankan diperlukan peraturan yang digunakan sebagai landasan operasionalisasi perbankan, maka dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998. Secara umum tujuan dari perbankan di Indonesia dijelaskan dalam pasal 4 Undang-Undang No.10 tahun 1998, yaitu: Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Eksistensi perbankan sangat diperlukan dalam suatu negara, untuk itu perlu diadakan pengawasan pembinaan usaha agar usaha bank dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan pembinaan dan pengawasan bank menurut pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998, yaitu: Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Pelaksana fungsi pengawasan bank (otoritas pengawasan bank) di Indonesia dilakukan oleh bank sentral (Bank Indonesia). Fungsi bank sentral adalah menjaga kestabilan moneter. Adapun tolok ukurnya adalah kestabilan nilai mata uang negara yang bersangkutan, kestabilan harga, nilai tukar, dan pengendalian inflasi. Selain itu, bank sentral juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Fungsi otoritas pengawasan bank ditempatkan di bank sentral, sehingga fungsi pokok bank sentral yaitu: (1) menjaga kestabilan moneter, (2) kelancaran dan kestabilan sistem pembayaran, serta (3) kesehatan dan kestabilan sistem perbankan. Ketiga fungsi tersebut terkait satu dengan yang lain, sehingga harus dikelola secara terpadu.
Keberadaan perbankan tentu tidak luput dari risiko yang mungkin akan terjadi. Adapun risiko perbankan antara lain ( Siamat, 1993):
1. Risiko kredit : Risiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang telah diterima dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan
2. Risiko investasi : Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian akibat penurunan nilai pokok dari portfolio surat-surat berharga.
3. Risiko operasional : Merupakan ketidakpastian mengenai kegiatan usaha bank.
4. Risiko penyelewengan : kerugian yang dapat terjadi akibat hal-hal seperti ketidakjujuran, penipuan atau moral hazard dari pelaku bisnis perbankan baik pejabat, karyawan dan nasabah.
Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bank dihitung berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.5/12/PBI/2003 Tanggal 17 Juli 2003 diwajibkan setiap bank mempunyai KPMM 8%. Jadi jika terdapat perbankan yang mempunyai KPMM atau CAR <8% maka bank tersebut tidak sehat. Rasio ini merupakan rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung unsur risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) yang ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank.
Likuiditas merupakan masalah yang sering dihadapi dunia perbankan selain masalah CAR. Pengalaman krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 berpengaruh terhadap krisis perbankan. Surat Edaran Bank Indonesia No.3/30/DPNP tgl 14 Desember 2001 bahwa LDR bank dikatakan sehat jika memiliki LDR 85%-110%. Masalah likuiditas disebabkan karena penarikan dana secara besar-besaran dari sistem perbankan (Bank Runs) dan cara Pemerintah mengantisipasi krisis yang timbul (hasil riset Bank Indonesia,2002:32). Sebagai akibatnya, sejumlah bank yang telah mengalami kesulitan likuiditas telah melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM). Oleh karena itu Bank Indonesia menyediakan bantuan likuiditas yang disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk membantu bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Kesulitan likuiditas makin parah dengan kebijakan pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) (tercatat hingga 70,81% pada tahun 1998). Kebijakan ini jelas memaksa sektor perbankan untuk menaikkan suku bunganya sehingga banyak kredit yang tidak dapat tertagih. Namun dalam persoalan krisis tahun 2008 lalu, penanganan krisis tahun 2008 lebih baik, terbukti tingkat suku bunga cukup stabil hingga akhir desember 2009.
Table tingkat suku bunga berdasakan jenis penggunaan
Jenis Peggunaan 2008 2009
Jan Des Jan Des
Modal Kerja
Rupiah 12,60 14,63 14,74 13,27
Valas 6,17 6,44 6,20 5,02
Investasi
Rupiah 12,50 13,99 13,91 12,55
Valas 6,97 7,01 6,90 5,88
Konsumsi
Rupiah 15,45 15,82 15,88 15,81
Valas 4,09 3,85 4,60 0,67
Disamping harus memperhatikan cadangan minimum dan likuiditas bank, bank juga dituntut untuk dapat menghasilkan laba (profitabilitas) melalui penjualan jasanya. Sumber utama pendapatan melalui penjualan jasa perbankan adalah penjualan kredit. Penjualan kredit tentu menyebabkan aliran kas keluar yang dapat mengurangi cadangan kas yang ada. Semakin besar kemampuan bank untuk menciptakan kredit, semakin besar pula kesempatan bank untuk memperoleh laba, akan tetapi perluasan kredit dapat mengurangi tingkat likuiditas bank. Hal inilah yang sulit dilakukan oleh para bankir untuk mengelola liquidity dan profitability yang sejak dahulu menjadi dilema dunia perbankan karena sifatnya yang selalu bertentangan kepentingan (conflict of interest) (Sinungan,1993:98).
Bisnis perbankan sebenarnya memperjual-belikan apa yang disebut risk dan service. Akan tetapi dalam menghadapi suatu persaingan perbankan sering berusaha melonggarkan service-nya, agar produk yang ditawarkan oleh bank tersebut berkesan mudah dijual. Nmaun, tanpa disadari bahwa pada saat service itu dilonggarkan, sejak itu pula tingkat risk bagi bank menjadi lebih tinggi. Begitu sebaliknya, kalau unsur risk-nya ditingkatkan, service yang dapat diberikan akan berkurang, sehingga produknya sulit dipasarkan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai financial intermediary yang mempertemukan surplus unit of fund dengan defisit unit of fund bank juga harus menjaga rasio kecukupan modalnya atau CAR (Capital Adequacy Ratio) (pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1998). Modal juga merupakan aspek yang sangat penting untuk menilai kesehatan bank. Modal digunakan untuk menilai seberapa besar kemampuan bank untuk menanggung risiko-risiko yang mungkin akan terjadi.
Dari beberapa penjelasan tentang kecukupan modal serta likuiditas yang harus dijaga oleh bank, disamping itu bank juga harus mendapatkan laba yang cukup baik. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat judul “PENGARUH CAPITAL ADEQUACY RATIO (CAR) DAN LIKUIDITAS TERHADAP PROFITABILITAS BANK UMUM”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar