Minggu, 30 Mei 2010

BI Imbau Perbankan Waspadai Krisis Eropa

Senin, 31 Mei 2010 | 09:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Bank Indonesia mengimbau kalangan perbankan di Tanah Air agar waspada dan terus memerhatikan perkembangan ekonomi global. Kewaspadaan ini amat penting agar perbankan siap menghadapi kemungkinan terburuk, misal ada guncangan yang besar dari krisis yang terjadi di Eropa.

Deputi Gubernur BI Muliaman Dharmansyah Hadad menuturkan, saat ini ekonomi global tengah berada dalam kondisi penuh ketidakpastian. "Saat ini, perbankan kita masih cukup tahan (resilient) dari kemungkinan guncangan yang besar dari berlarut-larutnya situasi di Eropa. BI meminta kepada manajemen (perbankan) senantiasa memantau secara dekat kemungkinan dampak yang akan dihadapi," ujar Muliaman kepada Kontan belum lama ini.

Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan krisis, BI secara rutin menggelar uji tingkat tekanan (stress test) kondisi sektor keuangan, termasuk perbankan. Dalam laporan kajian stabilitas keuangan terakhir BI, salah satu titik utama yang menjadi sumber instabilitas sektor keuangan adalah arus keluar masuk dana asing (capital flow).

"Capital inflow jangka pendek terus meningkat seiring membaiknya kinerja ekonomi kita," jelas Muliaman. Ini mengakibatkan sistem keuangan menjadi semakin rentan terhadap pembalikan arus dana secara serentak dan tiba-tiba (sudden reversal). Pembalikan dana terjadi di instrumen yang likuid, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan saham.

Masih sehat
Untunglah, hasil kajian BI terakhir mencatat, secara umum industri perbankan memiliki risiko nilai tukar yang relatif rendah. Hasil stress test risiko nilai tukar menunjukkan, depresiasi rupiah sebesar Rp 5.000 malah berpotensi meningkatkan capital adequacy ratio (CAR) industri perbankan sebesar 1,5 bps. Ini karena perbankan saat ini banyak yang mengambil posisi long untuk memelihara posisi devisa neto (PDN).

Hasil stress test terhadap kepemilikan SUN perbankan juga menunjukkan risiko pasar bank terkait harga SUN cukup rendah. Ini karena eksposur bank terhadap portofolio trading SUN hanya 4,02 persen dari total kepemilikan SUN bank. Alhasil, bank masih mampu mengatasi risiko penurunan harga SUN sampai 25 persen. Jika hal itu terjadi, CAR perbankan turun hingga 10 bps. Jika harga SUN anjlok lebih dari 25 persen, akan ada bank yang CAR-nya di bawah 8 persen.

Dalam hal likuiditas, hasil stress test menunjukkan, rasio noncore deposit perbankan hingga akhir tahun 2009 ada di angka 114,6 persen, atau di atas batas minimum 100 persen. Rasio ini menjadi indikator perbankan memenuhi kewajiban likuiditas jangka pendek. Ketika krisis 2008, rasio likuiditas bank sempat mencapai titik rendah, 84,9 persen.

Namun, risiko yang cukup besar dihadapi perbankan terkait suku bunga. Ia bilang, CAR perbankan berpotensi turun hingga 100 bps jika terjadi penurunan suku bunga hingga 5 persen. "Namun, jika suku bunga naik 4 persen atau lebih, akan ada bank yang CAR-nya turun jadi di bawah 8 persen," jelasnya.

Wakil Direktur Utama Bank Jasa Jakarta Lisawati dan Wakil Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Evi Firmansyah sepakat, dalam jangka pendek krisis Eropa tidak terlalu berpengaruh ke Indonesia mengingat saat ini rata-rata CAR perbankan nasional 14-15 persen. "Yang berbahaya adalah jika berlarut-larut karena akan memengaruhi ekspor," ujar Evi.

Terhambatnya ekspor akan berpengaruh pada semakin kecilnya pendapatan bank dari bisnis trade finance (bisnis internasional). Bila bisnis internasional melemah, bank hanya bisa berharap dari sektor domestik.

Menanggapi hasil stress test BI, Evi mengatakan, penurunan suku bunga akan memengaruhi pendapatan bank. Dampaknya, laba ditahan bank turun, sementara ekspansi kredit terus mengurangi CAR. Alhasil, CAR perbankan ikut turun. (Ruisa Khoiriyah, Roy Franedya/Kontan)

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/31/09272392/BI.Imbau.Perbankan.Waspadai.Krisis.Eropa

Ulasan :

Kalau menurut saya, Indonesia berusaha untuk men-stabilkan tingkat suku bunga terutama suku bunga pada SBI.

Karena sesuai pengalaman dari krisis ekonomi tahun 1997-1998, perbankan Indonesia mengalami ambang kehancuran, dikarenakan kesulitan dalam likuiditas, oleh karena itu, BI mengucurkan dana lebih dari 40 trilyun untuk membantu likuiditas perbankan yang terkena masalah.

Hal tersebut sangat berlainan, saat terjadinya krisis ekonomi tahun 2008, yang tidak berdampak signifikan terhadap operasonal perbankan, hal tersebut ditunjukan dengan stabilnya nilai tukar rupiah, serta tingkat suku bunga.

Namun, untuk komoditas export, mungkin akan berpengarih, mengingat sebagian besar perusahaan Indonesia mendapat modal dari asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar