Awal pengakuan Bahasa Indonesia adalah pada saat dideklarasikannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi ‘Kami putra-putri Indonesia menjunjug tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia’. Pernyataan tersebut tertulis jelas bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan untuk Bangsa Indonesia dengan beragam suku dan budayanya.
Bahasa Indonesia dapat diimplementasikan secara lisan maupun tulisan. Dalam bahasa lisan, tata cara penggunaan bahasa dapat dijadikan tolak ukur tingkat pendidikan seseorang. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar tergantung pada kondisi yang dihadapi, misalnya, penggunaan Bahasa Indonesia secara baku dan sesuai dengan EYD dapat ditemukan dalam acara formal, seperti pada saat rapat, sidang, diskusi panel, dan banyak hal lainnya. Sedangkan penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak terlalu baku dapat ditemui dalam kegiatan yang tidak formal, seperti saat berbincang dengan teman, mengekspresikan emosi kesedihan, kegembiraan, kekecewaan, kemarahan, serta hal lainnya.
Penggunaan Bahasa Indonesia secara tulisan cukup berbeda dengan penggunaan Bahasa Indonesia secara lisan. Dalam keadaan formal atau untuk tulisan ilmiah, penggunaan Bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada penggunaan bahasa baku dan sesuai EYD, namun harus mengikuti struktur penulisan dan ketentuan penulisan yang berlaku agar terjadi keteraturan struktur penulisan dan kesepadanan antara kalimat demi kalimat. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam struktur penulisan ilmiah seperti makalah, skripsi, dan lain sebagainya sangat diperlukan agar pembaca dapat memahami informasi yang disampaikan. Dalam tulisan non ilmiah saperti cerpen, artikel dapat disisipkan kata-kata yang tidak baku, namun tetap tidak menghilangkan struktur kalimatnya sebagai karya sastra.
Kenyataan pada saat ini, pengunaan Bahasa Indonesia cukup mengalami peruahan yang signifikan. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baku mulai rusak degan adannya bahasa- bahasa ‘gaul’ yang lebih dipakai secara umum. Hal tersebut dapat dilihat dalam media televisi apabila MPR sedang mengadakan rapat pansus atau penggunaan hak angket, setiap anggota yang mengajukan pendapat, hampir tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga menghilangkan konsep rapat tersebut sebagai keadaan yang formal. Keadaan seperti ini sungguh mecewakan, sosok pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyatnya dalam melestarikan Bahasa Indonesia, melainkan ikut merusak tatanan Bahasa Indonesia itu sendiri. Banyak pula para pelajar yang mungkin sudah lupa tatanan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga dalam acara diskusi, mereka cendrung menggunakan bahasa sehari-hari. Tidak hanya itu, mereka juga merasakan kesulitan dalam membuat suatu tulisan ilmiah yang mengunkan bahasa baku serta tatanan penulisan yang baik dan benar. Hal itu sungguh mengecewakan terlebih, mereka merupakan anak dan pelajar Indonesia.
Perlu diketahui bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dipelajari di 40 negara seperti China, Malaysia, Jepang, dan lain sebagainya. Namun di Indonesia sendiri Bahasa Indonesia seperti kehilangan tempat. Oleh karena itu, peran pelajar Indonesia sangat diperlukan dalam melestarikan Bahasa Indonesia agar Bahasa Indonesia kembali menjadi bahasa persatuan nasional yang dijunjung tinggi.
Nama : Olivia Febriyana Anggraini
NPM : 20207842
Kelas : 3eb01
Apa arti nasionalisme menurut anda mbak olivia,apa yang di maksud dengan berjuang melalui pikiran yang anti mainstream itu tidak berarti nasionalisme.....ketika dahulu Abraham Lincoln menyatakan bahwa, jangan tanyakan apa yang negara perbuat untuk anda, tapi coba tanya apa yang anda perbuat untuk negara, lantas bagaimana jika ternyata negara itu telah lalim....lebih baik menjadi penjahat dari pada harus tunduk dengan kelaliman, apabila sampah memegang kewenangan maka produknya adalah sampah juga...
BalasHapusRR